Potensi Abuse of Power Kejaksaan dalam RKUHAP

Dwi Sugesti Megamuslimah
Dwi Sugesti Megamuslimah

Thursday, 20 Feb 2025 19:01 WIB

Potensi Abuse of Power Kejaksaan dalam RKUHAP

Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara, Prof. Dr. KH. M Noor Harisudin

Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Jember, Prof. Dr. M. Arief Amrullah

JEMBER, TADATODAYS.COM - Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara Prof. Dr. KH. M Noor Harisudin menyoroti potensi adanya penyalah gunaan kekuasaan (Abuse of power) oleh Kejaksaan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).

Penyalahgunaan kekuasaan itu berpotensi terjadi apabila rancangan ini disahkan tanpa perubahan signifikan. Menurutnya, RKUHAP memberikan kewenangan yang terlalu besar kepada Jaksa, sehingga menghilangkan keseimbangan dalam sistem peradilan.

“Konsekuensinya nanti tidak ada check and balance. Jaksa bisa menjadi lembaga super body yang rentan terhadap penyimpangan,” ungkap laki-laki yang akrab disapa Prof. Haris itu, Kamis (20/2/2025).

Lebih lanjut, ia menyoroti kemungkinan ketimpangan hingga potensi chaos yang bakal terjadi antar-aparat penegak hukum (APH).

“Kalau kewenangan hanya bertumpu pada satu lembaga, maka besar kemungkinan terjadi penyalahgunaan. Saat ini saja banyak kasus penyimpangan di kalangan APH (Aparat Penegak Hukum), mulai dari polisi, jaksa, hakim, hingga advokat,” tambah dosen Hukum Tata Negara itu.

Ketimpangan Kewenangan dan Risiko Ketidakharmonisan itu, kata dia, dikarenakan sistem hukum di Indonesia berbeda dengan negara lain, seperti Belanda, yang memang memiliki sistem hierarkis dengan Jaksa sebagai pihak dominan.

“Di Belanda mungkin itu bisa diterapkan karena jumlah penduduk lebih kecil, hanya 17 juta. Tapi di Indonesia yang memiliki 280 juta penduduk, sistem ini tidak akan cocok,” jelasnya.

Dirinya juga menyoroti bahwa kebijakan ini bisa memicu ketidakharmonisan antara Kepolisian dan Kejaksaan. “Selama ini sistem sudah berjalan dengan posisi setara. Jika Kejaksaan diberikan kewenangan lebih, maka bisa menimbulkan konflik dengan Polisi,” jlentrehnya.

Selain ketimpangan kewenangan, Prof. Haris juga mengkritik efektivitas dari sistem yang diusulkan dalam RKUHAP. “Jika kontrol dan pengendalian perkara terlalu terpusat, misalnya di Jakarta, bagaimana dengan jumlah perkara yang sangat banyak di daerah? Justru ini bisa memperlambat proses hukum,” katanya.

Lebih lanjut, Prof Haris juga menekankan perlunya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dalam sistem peradilan. “Bukan hanya soal kewenangan, tapi juga kesiapan SDM. Penyidik di Kepolisian harus memiliki pendidikan yang lebih tinggi agar bisa bekerja lebih profesional,” tambahnya.

Sebagai solusi, Prof. Haris mengusulkan adanya batas waktu yang jelas dalam penyelesaian perkara agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum. "Misalnya 14 hari untuk kasus ringan dan maksimal dua bulan untuk kasus yang lebih kompleks. Jangan sampai kasus dibiarkan berlarut-larut tanpa kejelasan,” tegasnya.

Dengan berbagai permasalahan ini, Prof. Haris menegaskan pentingnya evaluasi lebih lanjut terhadap RKUHAP sebelum disahkan. “Revisi KUHAP seharusnya memperbaiki sistem, bukan malah membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan yang lebih besar,” pungkasnya.

Senada dengan Prof. Haris, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jember, Prof. Dr. M. Arief Amrullah juga menyoroti potensi ketimpangan kewenangan antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam RKUHAP.

Dirinya menegaskan bahwa konsep dominus litis yang diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum tidak boleh dimaknai sebagai dominasi lembaga tertentu.

“Kewenangan penyidikan ada pada Kepolisian, sementara kewenangan penuntutan ada pada Kejaksaan. Jangan sampai nantinya RKUHAP menjadikan salah satu lembaga lebih tinggi dari yang lain sehingga tidak setara,” katanya.

Prof Arief juga menekankan pentingnya transparansi dalam pembahasan RKUHAP agar publik dapat mengkritisi setiap aturan yang berpotensi menimbulkan ketimpangan. “Jika aturan ini tidak dibuka untuk dialog publik, maka ada potensi ketidaksetaraan yang mengarah pada penyalahgunaan kewenangan,” tegasnya.

Prof Arief juga menyoroti perlunya harmonisasi aturan antara KUHAP, Undang-Undang Kejaksaan, dan Undang-Undang Kepolisian.

“Jangan sampai RKUHAP melampaui atau bertentangan dengan aturan lain yang masih berlaku. Jika tidak ada harmonisasi, maka ini bisa menciptakan dominasi satu lembaga terhadap yang lain, yang berpotensi menyebabkan abuse of power,” katanya. (dsm/why)


Share to