Sambutan Hangat Generasi Milenial pada Pagelaran Wayang Kulit

Tadatodays
Tadatodays

Thursday, 04 Aug 2022 15:29 WIB

Sambutan Hangat Generasi Milenial pada Pagelaran Wayang Kulit

WAYANG: Pagelaran wayang kulit di Sanggar Mardi Budoyo Kota Probolinggo, Senin (1/8/2022) malam.

Sanggar Mardi Budoyo di Kota Probolinggo rutin menggelar wayang kulit di momen tahun baru Islam atau dalam adat Jawa disebut suroan. Setelah sempat tidak digelar selama dua tahun karena pandemi Covid-19, momen suro 2022 atau tahun baru Islam 1444 Hijriyah ini Sanggar Mardi Budoyo bisa kembali menghelat pagelaran wayang kulit yang ternyata mendapat sambutan hangat generasi milenial. 

------------------

MARKAS Sanggar Mardi Budoyo yang terletak di Jalan Ir Juanda, Kelurahan Tisnonegaran Kota Probolinggo pada Senin (1/8/2022) malam itu dipadati orang. Tepat di depan sanggar yang sekaligus merupakan tempat tinggal tokoh pendalungan Mbah Guco itu berdiri pentas wayang kulit. Pagelaran tersebut merupakan rangkaian acara Selamatan Tapal Adam.

Tampak 44 macam sesaji yang berada di atas meja area panggung. Setiap sesaji diperuntukkan tujuan tertentu.

Tempat acara sudah dipenuhi orang-orang yang ingin menonton. Banyak orang berdiri karena tidak kebagian kursi.

Penontonnya beragam usia. Tidak hanya orang dewasa dan tua penyuka wayang, tetapi juga terlihat ada cukup banyak penonton remaja. Anak kecil pun turut menghadiri pagelaran wayang kulit dengan orang tua mereka. Sejumlah perwakilan dari Suku Tengger turut hadir.

Tak lama berselang, pembawa acara  membuka acara seremonial tepat pada pukul 20.20. Pembawa acara memohon para  hadirin berdiri untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sebelum pagelaran wayang kulit dimulai, acara tersebut diawali dengan beberapa acara.

Selesai seremonial, panitia sibuk membagikan makan malam dan berkat kepada setiap orang yang datang. Yuyun Widowati, pendiri Sanggar Seni Mardi Budoyo yang tidak lain adalah putri Mbah Guco, hilir mudik menyapa para tamu.

Masa istirahat pun selesai. Pagelaran wayang kulit dimulai. Kali ini,  pagelaran diisi oleh Rahmat Dian Kuncoro dan Tri Suro yang keduanya merupakan sarjana Seni Pedalangan. “Kedua dalang ini masih relatif muda,” jelas pembawa acara. Para dalang membawakan kisah Begawan Ciptaning.

Bukan hanya pedalang, para kru panggung juga muda. Bahkan tiga orang sinden yang mengiringi pagelaran itu juga masih muda. Begitu pula para pengrawitnya. Mereka adalah anak muda-muda yang energik.

Pagelaran berlangsung semalam suntuk. Agenda tersebut berakhir menjelang subuh.

MILENIAL: Demeria Ruthenella Purnomo atau Sheryl yang ikut melantunkan kidung di pementasan wayang.

Seorang anak berusia SD tampak berdiri sendirian mengamati jalannya acara sebelum pagelaran dimulai. Muhammad Ridwan Al Faizi namanya, siswa kelas 5 MI Miftahun Ulum. Ia datang sendiri tanpa didampingi orang tuanya. “Biasanya nonton sama Mama, tapi sekarang sendirian,” jelasnya pada tadatodays.com.

Faizi ternyata pernah mengikuti latihan tari di Sanggar Seni Mardi Budoyo setiap hari Sabtu.  Tempat tinggal Faizi tidak jauh dari tempat pagelaran diadakan.

Ia mengetahui wayang kulit tidak dari siapapun. ”Tahu sendiri,” ujarnya. Sudah dua kali ia menonton pagelaran wayang kulit.

Faizi senang menonton pagelaran wayang kulit. Ia juga kerap menontonnya lewat video di kanal digital. “Saya suka nonton wayangan yang lucu-lucu. Sering nonton di video,” jawabnya dengan gelagat malu.

“Yang kayak rumah-rumahan. Yang ngomong ‘wandar sono’. Pokoknya yang sering bertengkar,” responnya dengan amat antusias menjelaskan ketika ditanya mengapa tertarik dengan wayang kulit. Ia juga menjelaskannya sembari menirukan aksi dalang saat mengatakan “wandar sono”.

Faizi sendiri berasal dari etnis campuran. Bapaknya berasal dari etnis Madura. Sedangkan ibunya berasal dari etnis Jawa.

Bergeser ke bangku penonton, seorang pemuda bertopi kupluk sedang duduk bersama kedua temannya. Rentang usia  terlihat cukup berjarak antara ia dan kedua temannya yang duduk tepat di depan sound system.

“Kebetulan yang ikut acara wayangan di sini untuk sekarang ini anak-anak muda,” ujar pria yang bernama Reza Palevi ini. Reza sendiri adalah warga kampung sekitar. “Kebetulan anak-anak sanggar (Sanggar Seni Mardi Budoyo, Red) ini muda semua. Mulai dari yang SD sampai SMA. Memang generasinya muter (regenerasi, Red) terus,” tambahnya.

Pagelaran wayang kulit yang kerap diadakan oleh Sanggar Seni Mardi Budoyo ini juga turut diminati oleh warga luar kampung tersebut. Itu yang diketahui Reza berdasar informasi yang dia dapatkan.

Sama seperti Faizi, Reza mengikuti pagelaran wayang kulit semenjak kecil. ‘Tidak paham’ adalah kesan pertama Reza pada awal menonton pagelaran wayang kulit. Namun, hal tersebut tidak mengendorkan rasa penasarannya pada wayang kulit. Ia kerap bertanya pada orang yang lebih paham.

“Pertama nonton, karena generasi milenial juga, kurang paham pastinya. Tanya seperti apa, ternyata ada alur ceritanya tersendiri tentang pewayangan, lah. Wayang kulit cukup menarik, karena memang sejarah, kan,” tuturnya. 

Bagi Reza, hal menarik dari wayang kulit ialah cerita yang dibawakan. Dalang juga menentukan pembawaan cerita. Terutama apakah cerita itu terasa asik untuk dibawakan ataupun tidak. “Yang menarik buat saya itu ceritanya. Dari dalangnya juga, sih. Dalangnya sebagai dirigen, lah. Dirigennya bagus, pembawaannya pun bagus. hal itu menarik juga di cerita, biasanya seperti itu,” jelas pria yang juga berprofesi sebagai wirausahawan.

Reza yang pernah menjadi musisi, merasa bahwa dunia kesenian sangat dekat dengan dirinya. Dalam kesehariannya pun ia sering bersentuhan dengan kesenian seperti tari dan sinden.

Ia berpendapat bahwa generasi sekarang tidak lepas dari kesenian tradisi seperti wayang kulit. Ia mengharapkan jika sekolah dan instansi pemerintah mengenalkan budaya sendiri itu dirasa penting. “Paling tidak, sekolah-sekolah atau instansi pemerintahan bisa memberikan penyuluhan mengenai budaya sendiri. Itu penting sih,” ujar pria yang masih berumur 30 tahun itu.

Reza pun mengenalkan kesenian tradisi pada keponakan-keponakannya. Ia berpesan bahwa generasi milenial wajib paham atau mendukung budaya atau kesenian tradisional. “Intinya kita sebagai generasi milenial, seperti saya, wajib turut mendukung (kebudayaan dan kesenian tradisional, red). Paling tidak itu tahu budayanya sendiri seperti apa. Sebab hal itu penting untuk generasi selanjutnya,” tuturnya.

Rabu (8/3/2022) Yuyun Widowati selaku pendiri Sanggar Seni Mardi Budoyo, meluangkan waktu untuk berbincang dengan tadatodays.com.  Yuyun saat itu bersantai di depan rumah sekaligus sanggar yang didirikan mulai 2009 silam.  Yuyun terlihat ditemani beberapa temannya. 

Soal pagelaran wayang kulit itu, kata Yuyun, menjadi bagian dari  usahanya untuk mempertahankan tradisi. Ia merasa penting mengenalkan tradisi tersebut pada anak-anak dan para remaja di kampungnya, Kelurahan Tisnonegaran. “Saya punya reog remaja. Totally, semua remaja. Nggak ada yang dewasa,” jelas wanita berumur 53 tahun itu.

Yuyun berpendapat bahwa generasi muda saat ini masih antusias dalam mempelajari kesenian tradisional. “Buktinya yang lihat (pagelaran wayang kulit, red) kemarin arek nom-nom (muda-muda, red). Anak-anak tidak hanya bisa nonton, mereka juga bisa main gamelan,” ungkapnya sembari menikmati makan malamnya di warung depan rumahnya.

Ia juga berpendapat bahwa jika pemerintah ataupun sekolah turut menggalakkan pengenalan tentang kesenian tradisional terhadap generasi milenial, maka akan tumbuh banyak minat. “Sebenarnya, jika pemerintah dan sekolah membuka ruang (pengenalan terhadap seni tradisi, red), saya yakin banyak (yang tertarik, red),” ungkapnya.

Sejenak Yuyun minum sedikit teh panas pesanannya. Lalu, ia melanjutkan pendapatnya mengenai ketertarikan generasi milenial pada kesenian tradisional, khususnya di Probolinggo sendiri. “Memang saya sengaja memberi dobrakan pada Probolinggo, bahwa ada kok generasi muda kita yang bisa. Dengan cara apa? Yo ditelateni, dididik, dibimbing, dan didampingi. Tidak dididik terus dilepas. Tidak! Tetap didampingi,” tutur Yuyun panjang lebar.

DITONTON BOCAH: Pentas wayang kulit di Sanggar Mardi Budoyo tidak hanya disaksikan orang dewasa dan tua, tetapi juga anak-anak. 

Namun, Yuyun menyayangkan generasi sebelumnya yang enggan mendampingi generasi muda dalam mengenal kesenian tradisional. “Jarang yang mau (generasi sebelumnya, red) mendampingi (generasi muda, red) sampai paham benar,” jelasnya dengan sedikit nada kecewa.

Yuyun yang berasal dari keluarga berkultur Jawa  kental, sudah terbiasa dengan kesenian tradisional sejak kecil. Keluarganya sendiri yang mengenalkan tradisi tersebut. Hal itu pun tetap berlanjut hingga anak-anaknya.

Anaknya sendiri ia bimbing dalam mengenal kesenian tradisional. “Saya dan anak-anak saya tidak canggung-canggung untuk mengenakan sanggul, blangkon dan beskap. Meski mereka generasi milenial,” ujarnya yang masih semangat menggalakkan seni tradisi meski dengan kondisi kesehatan yang buruk.

Yuyun juga berpendapat bahwa hal penting dalam mengenal budaya dan kesenian tradisional ialah pembentukan karakter. “Pembetukan karakter ialah hal esensial saat mengenal budaya dan kesenian tradisional,” ujarnya.

Kemudian, ia melanjutkan perbincangan dengan obrolan ringan seputar keseharian. Makan malamnya pun usai. Tak lama berselang, anak ketiganya datang.

Demeria Ruthenella Purnomo akrab dipanggil Sheryl oleh Yuyun dan teman-temannya itu duduk dekat Ibunya. Sheryl menjadi penembang kidung di gelaran wayang kulit. Penampilannya begitu istimewa nan anggun dibalut kebaya kuning.

Sheryl sedikit bercerita jika sekarang ia menempuh pendidikan di kampus Institut Desain dan Bisnis Bali. Ia menempuh jurusan Fashion Design atau Desain Mode semester tiga. Ia mengenal kesenian dan menggelutinya terutama penembangan dari keluarganya sendiri.

Ia menjelaskan bahwa dirinya menikmati saat berada di panggung. Ia senang saat mendapatkan perhatian dari penonton. “Saya suka attention. Pas naik ke atas panggung, kan, kayak orang-orang lihat saya semua. Aku enjoying banget dapat attention dari orang-orang. Terus mereka expect something dari aku,” ujarnya dengan gaya tutur ala generasi milenial.

Sheryl mengaku bahwa hal tersulit dalam seni tradisional adalah pakemnya. Ada beberapa pakem seni tradisonal yang tidak boleh diubah. “Yang buat sulit itu peraturannya, sih. Kayak ada hal tertentu yang gak dapat diubah. Contohnya nadanya (dalam menembang, red) itu,” ungkap gadis 19 tahun itu.

Dalam memutuskan untuk melanjutkan bakatnya di tembang, Sherly masih ragu. Ia tak ingin menjalani hidup dengan mimpi orang lain. “Sebenarnya saya masih agak bingung dengan perasaan saya sendiri, kan. Saya tuh hidup gak mau jalanin mimpi orang lain. Saya punya mimpi sendiri. Saya ingin jadi desainer. Mungkin jika karir desainer saya besar, saya mungkin akan melanjutkan hal ini (penembang, red) sebagai sampingan,” jelasnya.

Bakat yang dimiliki Sheryl tentu masih bisa lebih jauh berkembang. Namun, ia juga memiliki mimpi lain yang ingin digapai.

Sheryl, Reza dan Faizi merupakan gambaran bahwa masih ada banyak generasi milenial yang mencintai kesenian tradisi. (iaf/why)

Penulis: Iqbal al Fardi


Share to