Sukardi, Sulap Sampah Organik Jadi Pelet Ikan

Alvi Warda
Alvi Warda

Sabtu, 03 Dec 2022 12:59 WIB

Sukardi, Sulap Sampah Organik Jadi Pelet Ikan

PELET: Sukardi bersiap mengemas pelet ikan ke dalam sak. Ia menjual pelet produksinya ini dengan harga Rp 7 ribu per kilogram.

Segala cara bisa dilakukan untuk menjaga kelestarian alam. Hal itu menjadi jalan bagi Sukardi, pria asal Kecamatan Kanigaran, Kota Probolinggo. Ia mengolah sampah organik menjadi pakan atau pellet ternak.

--------------------

PENGOLAHAN sampah menjadi pelet ikan ini menjadi motivasi bagi masyarakat untuk berkontribusi mengurangi limbah. Sukardi bahkan mendirikan pondok bambu di lahan miliknya, sebagai tempat pengolahan. Di depan pondok itu, ada setumpuk sampah kotoran hewan atau sampah organik lainnya. Sementara di dalam pondok, ada mesin dan alat-alat pengolahan.

Pondok itu benama Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Al-Huda. Lokasinya berada di Jl. Asahan nomor 20 Kelurahan Curahgrinting, Kecamatan Kanigaran Kota Probolinggo. Sukardi mengolah sampah menjadi pelet ternak ini, hampir setiap hari. Libur hanya terjadi ketika hujan turun. Sebab, salah satu proses membutuhkan sinar matahari yang cukup.

Sudah 11 tahun Sukardi hidup berdampingan dengan pengolahan sampah ini. Ia bercerita, sekitar tahun 2011 yang lalu ia resah terhadap sampah yang kian hari kian menumpuk di sungai dan hampir menutupi jalan pinggir pondoknya itu. “Semua sampah itu dibuang ke sungai. Saya bahkan pernah melihat orang berseragam buang sampah, itu setiap mau berangkat kerja dan antar anaknya sekolah,” ujarnya.

Kemudian, Sukardi berinisiatif mencari tahu kiat mengolah sampah menjadi hal yang bermanfaat.  Akhirnya, ia menguhubungi Dinas Lingkungan Hidup (DLH) untuk mencari tahu. Ia mendapat pelatihan pada tahun 2014 bersama DLH. “Saat itu juga sekaligus sampah di sungai dan jalan turut dibersihkan,” ucapnya.

TPST: Sebelas tahun sudah TPST Al-Huda berdiri. Di pondok inilah Sukardi mengolah sampah menjadi pellet ternak. Setumpukan sampah berada di sisi depan pondok.

Pria berusia 58 tahun itu setiap selesai salat subuh sudah berkutat dengan pengolahan sampah. Pelet ternak ini dikhususkan untuk ikan. Menurut Sukardi, ternyata sampah yang ia olah menjadi pakan kaya akan protein. “Saya itu mencampurnya dengan kandungan-kandungan protein,” jelasnya.

Selain sampah, bahan yang ia butuhkan seperti tepung kedelai dan tepung ikan. Setelah semua bahan tersedia, ia akan mennggilingnya. Namun, sebelum menggiling ia memilah sampahnya terlebih dahulu. “Sampah yang tidak untuk pellet itu, dijadikan pakan ternak lain. Kayak sisa nasi untuk ayam,” ujarnya.

Jika ia ingin mencampurkan tepung ikan sebanyak20 kilogram, ia akan mencampurkan sampah yang ia pilah sebanyak 10 kilogram. Nah, sehari ia bisa memproduksi hingga satu kwintal pakan ikan.

Sampah-sampah organik yang Sukardi sebutkan itu didapatkan dari warga Kelurahan Curahgrinting. Seperti sisa makanan, kotoran hewan dan sampah organic lainnya. Ia kemudian memilahnya dan menjemurnya hingga benar-benar kering. “Dijemur dulu sampah-sampahnya,” terangnya.

Sekitar dua hari ia menjemur sampah. Tempat penjemurannya, berada di sisi selatan pondok. Namun, karena memasuki musim hujan, sampah yang biasanya dijemur setiap dua hari sekali, kini harus  menunggu ada terik matahari.

Proses pengeringan sampah itu memakan waktu selama dua hari. Setelah sampah mengering,  ia akan menggilingnya dengan mesin yang ia rancang sendiri. Setelah semuanya tercampur, baru ia akan membentuk olahan tadi menjadi bintik kecil layaknya pakan ikan. Nah, pakan ikan siap dikemas dengan karung sak dan didistribusikan.

Penjualan pelet ikan ini terbilang sukses. Paling sedikit ia bisa menjual hingga setengah kwintal setiap harinya. Begitu selesai diproduksi, peletnya akan terbang pada konsumen. Satu kilogram dijual Rp 7 ribu. “Saat ini paling jauh ke Probolinggo timur. Solanya, saya nganter sendiri pakan ini pakai motor,” ujarnya.

Saat awal mendirikan TPST Al-Huda, Sukardi seorang diri mengolahnya. Baru, seiring berjalannya waktu ia ditemani tiga orang temannya. “Jadi pekerjaan saya wes ini,” ucapnya.

Tentunya, bertahun-tahun hidup dengan pengolahan sampah ini kendala dan tantangan turut mewarnai hari-hari kerja Sukardi. Kurangnya terik panas matahari misalnya. Ia sangat resah jika sudah memasuki musim hujan. “Terhambat kalau musim hujan itu,” terangnya.

Selain itu, alat yang ia gunakan masih terbilang sederhana. Selama mendirikan TPST ini, ia merancang mesin itu sendiri. “Jamannya sudah makin canggih, tapi saya masih berusaha mengumpulkan untuk mesin yang lebih canggih,” tuturnya.

Sukardi juga mengaku sangat kewalahan jika mengantar pakan ternak ini sendirian. Apalagi hanya bermodalkan sepeda motor matiknya. “Saya berharap mungkin ada bantuan dari pemerintah,” katanya. (alv/why)


Share to