Mahasiswa Papua di Jember Tuntut Pemerintah Indonesia Jalankan Referendum

Andi Saputra
Andi Saputra

Sabtu, 15 Aug 2020 21:23 WIB

Mahasiswa Papua di Jember Tuntut Pemerintah Indonesia Jalankan Referendum

SAMPAIKAN ASPIRASI: Puluhan mahasiswa Papua menggelar aksi menuntut dilaksanakannya referendum, sekaligus mengelola lahan negara.

JEMBER, TADATODAYS.COM - Puluhan mahasiswa Papua di Kabupaten Jember yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), menggelar aksi demonstrasi, Sabtu (15/8/2020). Aksi itu untuk memperingati New York Agreement yang dilaksanakan setiap 15 Agustus.

Dalam aksinya, massa menuntut dilakukannya referendum atau jajak pendapat bagi rakyat Papua untuk menentukan nasibnya. Tuntutan itu dilayangkan sebagai jalan keluar bagi masyarakat Papua untuk gterbebeas dari belenggu diskriminasi dan rasisme.

Dari pantauan tadatodays.com, puluhan mahasiswa Papua dari berbagai kampus di Jember itu mulai berkumpul di bundaran DPRD Jember sekitar pukul 09.00 WIB. Dengan menggunkan pengeras suara berukuran kecil, mereka mulai berorasi menyampaikan diskriminasi yang selama ini mereka alami.

Massa aksi juga menerikaan Papua merdeka sebagai bentuk aspirasi. Sejumlah poster berisi tuntutan juga dibentangkan. Seperti: “New York Agreement 1962 Ilegal di Tanah Papua”; “Berikan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratisasi bagi rakyat Papua”; “Buka akses jurnalis nasional dan internasional di Papua”; “Segera tarik militer organik maupun nonorganik dari tanah Papua” dan “Tolak Otsus Jilid 2”.

Kordinator aksi Midi Filex Kogoya mengatakan, New York Agreement pada 15 Agustus 1962 yang diikuti oleh Indonesia, Belanda, dan Amerika, merupakan perjanjian ilegal. Alasannya, perwakilan orang Papua tidak terlibat dalam penentuan nasib.

Mereka juga menolak wacana perpanjangan masa UU otonomi khusus (otsus) untuk bumi cendrawasih yang dibahas sejak Januari 2020 lalu. Kogoya menyebut, otsus selama ini tidak efektif karena implementasi tidak pernah dirasakan oleh rakyat Papua.

Selain itu, karena UU Otsus otoritasnya berada di pusat, ia menilai otsus hanya sebagai alat kepentingan elit politik Indonesia. Termasuk warga asli Papua yang bekerja di pemerintahan .

“Indonesia harus mengakui Papua Barat sebagai bangsa yang pernah merdeka, dan negara demokrasi (Indonesia, Red) harus mengadakan referendum,” jelasnya. Lebih lanjut, Kogoya mayakini, ketika dilakukankan referendum, 80 persen rakyat Papua akan menerima.

Sementara, menurut Etanias Wadimbok, salah seorang peserta aksi, sikap warga Papua yang terus bersuara meminta referendum dilatarbelakangi diskriminasi Indonesia terhadap rakyat Papua. Seperti pelanggaran HAM berat, ketimpangan ekonomi, dan berbagai macam penindasan. Serta pembatasan yang dilakukan oleh militer Indonesia dipapua.

Diakhir aksi mereka menggelar aksi teatrikal Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) untuk mengenang peristiwa yang terjadi 2 Agustus 1969 lalu. Dalam teatrikal ditunjukkan adanya kekerasaan serta intimidasi Indonesia dalam mengakui sisi Papua barat menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Barulah sekitar pukul 13.00 WIB massa aksi mulai membubarkan diri secara rapi. Terlihat puluhan anggota kepolisian berjaga di lokasi. (as/sp)


Share to