Museum Probolinggo dan Gedung Kesenian: Integrated Cultural Site

Tadatodays
Friday, 22 Aug 2025 11:22 WIB

Setiap daerah penting menegaskan identitasnya, karakternya, jati dirinya. Identitas ini menjadi pondasi bagi pembangunan daerah. Identitas ini juga harus dilestarikan sebagai penguat dan penyatu masyarakat, sekaligus modal pembangunan karakter individu maupun masyarakat daerah tersebut.
Kepentingan serupa juga berlaku bagi Kota Probolinggo. Kota sekecil Kota Probolinggo ini, masuk kota sedang untuk ukuran Adipura, juga harus menegaskan identitasnya. Lantas, apa identitas, karakter, jati diri Kota Probolinggo?
Ada tiga faktor penyangga identitas Kota Probolinggo. Pertama, faktor geografi. Kota Probolinggo punya bentang pesisir di utara dan pertanian di selatan. Masyarakat di daerah pesisir dan pertanian hidup dengan masing-masing pola budaya dan kearifan lokal.
Kedua, faktor sejarah. Kota Probolinggo menjadi daerah penting dalam babakan sejarah. Sebagai Kota Pendidikan, jauh sebelum predikat itu bergeser ke Malang. Sebagai kota dengan pelabuhan besar, dan salah satu penghasil gula besar.
Sebagai kota tempat pecahnya perlawanan tentara dan rakyat dalam fase Agresi Militer. Di fase inilah lahir nama-nama besar pejuang Probolinggo, seperti Suroyo, Suyoso, Mas Trip, Siaman, Kelap, hingga Kastip.
Lalu yang masih terlihat fasadnya sampai sekarang ialah morfologi (bentuk dan struktur) Kota Probolinggo, yang tidak ada duanya. Handinoto, seorang profesor dari UK Petra Surabaya, mengulas apik morfologi grid Kota Probolinggo. Anda bisa menikmati ulasan Prof Handinoto yang sudah dibukukan oleh Pemerintah Kota Probolinggo pada tahun 2010.
Sebagian besar bangunan tua penanda sejarah, termasuk morfologi kota yang istimewa, masih bertahan sampai sekarang. Namun memang ada kekhawatiran, tanpa ada treatmen khusus dari pemegang kekuasaan, kekayaan sejarah ini bakal tidak berumur panjang.
Ketiga, faktor kebudayaan. Kota Probolinggo menjadi salah satu melting point atau titik lebur dua suku besar, yaitu Jawa dan Madura. Interaksi terus menerus masyarakat berlatar kultur Jawa dan Madura melahirkan corak budaya campuran (pendalungan).
Proses akulturasi masih terus berlangsung. Corak budaya pendalungan Kota Probolinggo masih mewujud ke sebagian kecil aspek. Salah satunya ialah dialek bahasa campuran Jawa-Madura. Maka, selain proses natural, gerakan untuk menegaskan corak budaya pendalungan Kota Probolinggo masih terbuka dan penting untuk dilakukan.
*
Identitas, karakter, jati diri Kota Probolinggo teridentifikasi. Langkah selanjutnya ialah “merumahkan” agar bisa jadi tetenger identitas Kota Probolinggo. Upaya “merumahkan” identitas Kota Probolinggo itu berwujud Museum Probolinggo. Gedung tua di Jl Suroyo nomor 17 Kota Probolinggo dipilih sebagai berdirinya Museum Probolinggo.
Gedung ini berdiri tahun 1814 dengan nama awal “Societeit Gebouw Harmony”. Di masa kemerdekaan, nama gedung ini berganti menjadi Panti Budaya, lalu diganti lagi menjadi Graha Bina Harja (GBH). Sampai tahun 2010, gedung ini disewakan sebagai tempat resepsi pernikahan.
Sebuah konsep besar kebudayaan dirumuskan sejumlah pemikir-pekerja hebat sejak tahun 2009-2011. Satu poin pentingnya ialah mendirikan Museum Probolinggo. Wali Kota Probolinggo yang menjabat saat itu, yakni HM Buchori, cukup memiliki visi kebudayaan. Ia juga suka inovasi.
Maka, konsep besar kebudayaan disambut baik Wali Kota HM Buchori. Gedung Panti Budaya resmi dialihfungsi menjadi Museum Probolinggo pada 15 Mei 2011. Gedung ini dipilih karena memiliki nilai histori dan lokasinya paling strategis: di jantung kota, di jalur sumbu Jalan Suroyo.
Untuk kepentingan tempat pernikahan dan kegiatan lain yang dibutuhkan masyarakat, Pemkot Probolinggo kemudian membangun gedung pengganti di Jalan Basuki Rahmad. Dulu gedung itu diberi nama Islamic Center, kemudian dialihfungsi menjadi Mal Pelayanan Publik.
Museum Probolinggo menjadi benang merah identitas Kota Probolinggo dari aspek geografi, sejarah, dan kebudayaan. Ini tercermin dari koleksi-koleksi yang berwujud kolase foto-foto sejarah, benda-benda bersejarah, hingga benda etnografi dan numismatic.
Eksistensi Museum Probolinggo bertujuan agar artefaknya bisa menjadi media edukasi bagi generasi penerus di Kota Probolinggo tentang jati dirinya. Agar spiritnya bisa terus ditularkan dan dilestarikan. Agar value-nya bisa terus dikembangkan di segala lintasan zaman.
Namun, museum identik dengan tomb stone, batu nisan. Di banyak tempat, orang datang sekali saja ke museum. Tidak pernah mengulang. Maka, konsep besar kebudayaan tidak berhenti hanya dengan berdirinya museum. Museum Probolinggo harus menjadi “living museum”, museum yang hidup.
Museum Probolinggo harus menjadi ruang publik, tempat orang Kota Probolinggo datang berdiskursus, mengeksplorasi, dan mengembangkan segala aspek kekayaan sejarah, geografi dan kebudayaan yang dimiliknya. Lalu pada saat yang sama, di kawasan Museum Probolinggo ini pula orang-orang Kota Probolinggo menunjukkan berbagai hasil karya kreatifnya, berupa ragam kesenian dan lainnya.
Konsep Museum Probolinggo sebagai living museum, sebagai ruang publik, ialah dengan membangun kawasan kebudayaan yang terintegrasi atau integrated cultural site. Museum sebagai tonggaknya. Lalu dari museum dan sekitarnya harus terbangun kerja dan aktivitas kebudayaan. Oleh karena itu, sejak awal museum ini diberi nama agak panjang: Museum Probolinggo: Pusat Kebudayaan dan Kesenian.
Langkah materialisasi setelah museum berdiri, dimulai dengan membentuk komunitas Sahabat Museum. Ia menjadi mitra pengelola museum untuk menjadi jembatan dengan masyarakat untuk menjabat erat komunikasi, diskursus, hingga penyegaran koleksi Museum Probolinggo.
Step berikutnya dari konsep kawasan kebudayaan ialah menjadikan gedung tennis indoor di samping Museum Probolinggo, sebagai gedung kesenian. Mengapa gedung kesenian? Karena kesenian dalam wujud pertunjukan, merupakan salah satu aspek kebudayaan yang paling mudah dinikmati, punya banyak penikmat, sekaligus kesenian merupakan cap paling kuat kebudayaan di suatu daerah.

Proses menjadikan tenis indoor sebagai gedung kesenian, butuh waktu dan dinamika yang panjang. Tidak mudah juga. Bukan soal olahraga tenisnya. Tetapi Kota Probolinggo sedang membangun kawasan kebudayaan di area Museum Probolinggo.
Wali Kota Probolinggo saat itu, HM Buchori, memahami betul kebutuhan kawasan kebudayaan tersebut. Ia kemudian merestui alihfungsi tennis indoor menjadi gedung kesenian. Tahun 2013, Wali Kota HM Buchori meresmikan Gedung Kesenian Kota Probolinggo.
Lalu, bagi para penghobi tenis yang biasa berolahraga di tennis indoor, Pemkot Probolinggo tetap memberi perhatian. Pemkot menyediakan penggantinya. Sudah dibangunkan lapangan tenis baru di belakang gedung kesenian. Ini menambah list lapangan tenis di Kota Probolinggo, selain dua lapangan tenis di Jalan AIS Nasution yang sudah lebih dulu ada.
Step selanjutnya, konsep kawasan kebudayaan berlanjut dengan pemanfaatan halaman Museum Probolinggo. Halaman museum itu sedianya, dalam konsepnya, dibangun menjadi amphitheater. Jadi untuk tampilan kesenian bersifat outdoor, ditampilkan di amphitheater. Sedangkan ragam kesenian yang butuh ditampilkan di indoor, disajikan di gedung kesenian.
Terakhir, dalam konsep kawasan kebudayaan ini, setelah ada Museum Probolinggo dan gedung kesenian, dinas pengampu urusan kebudayaan harus berkantor di kawasan ini juga.
Dengan demikian, jelas tergambar benang merah integrated cultural site, sebuah kawasan kebudayaan yang terintegrasi. Museum Probolinggo sebagai tonggaknya, dilengkapi gedung kesenian dan amphitheater, serta dinas pengampu urusan kebudayaan. Selanjutnya tinggal membangun sinergi mengisi ruang publik di kawasan bernama “Museum Probolinggo: Pusat Kebudayaan dan Kesenian” itu.
Yang seharusnya terjadi minimal: ada pementasan rutin setiap pekan untuk ragam kesenian dalam ruangan di gedung kesenian; bergantian dengan pementasan rutin setiap pekan untuk ragam kesenian outdoor di amphitheater; ada diskursus berkala tentang berbagai aspek kebudayaan Kota Probolinggo bersama sahabat museum dan para pemerhati seni-budaya.
Maka, selalu ada daya tarik bagi masyarakat untuk datang, menyimak koleksi-koleksi museum, lalu menikmati pertunjukan yang sedang disuguhkan di dalam gedung kesenian, atau sedang ditampilkan di amphitheater, atau ikut menyimak diskusi bersama sahabat museum. What a living museum!
*
Dalam perjalanannya, konsep integrated cultural site itu memang tidak sepenuhnya jalan. Sudah biasa terjadi, di pemerintahan terjadi inkonsistensi dengan berbagai macam sebab. Sepertinya sungguh berat bagi pemerintahan mewujudkan, terlebih mempertahankan dan mengembangkan integrated cultural site Museum Probolinggo.
Amphitheater di halaman depan Museum Probolinggo belum pernah terealisasi. Tahu-tahu diisi pesawat, tank, taman yang tidak boleh diinjak. Lalu kini tambah diisi perahu.
Dinas pengampu kebudayaan tidak kunjung berkantor di kawasan Museum Probolinggo. Area museum justru semakin sempit oleh parkir kendaraan-kendaraan berat.
Lalu ada masanya, tiba-tiba Museum Probolinggo diganti menjadi Museum Rasulullah, meski akhirnya dikembalikan jadi Museum Probolinggo.
Hingga titik paling ironis terjadi: Pemkot Probolinggo tiba-tiba memutuskan mengubah fungsi gedung kesenian kembali menjadi tennis indoor. Bahkan keputusan diambil tanpa proses dialektika lebih dulu dengan masyarakat kesenian. Sedangkan kepentingannya cuma sejengkal, agar ada pemasukan (PAD), agar kembali punya tennis indoor: bisa main tenis tanpa kepanasan dan kehujanan.
Ironisnya, keputusan ini diambil di masih tengah kebanggaan Pemerintah Kota Probolinggo menjadi anggota JKPI (Jaringan Kota Pusaka Indonesia). Sedangkan Kota Pusaka mensyaratkan adanya kepedulian terhadap warisan pusaka alam dan warisan pusaka budaya yang dimiliki daerahnya. Mensyaratkan adanya pelestarian kawasan fisik maupun nonfisik orang dan kebudayaannya.
*
Terlepas soal ada beberapa aspek konsep integrated cultural site yang tidak terealisasi, oleh komunitas kesenian, gedung kesenian dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk membangun kesenian berwarna Kota Probolinggo. Dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk membangun kecintaan generasi muda Kota Probolinggo pada kesenian daerahnya, pada jati dirinya.
Pelatihan-pelatihan untuk pelaku beragam kesenian, murid, guru, rutin dilakukan. Ada proses melahirkan karya seni yang rutin dijalani di gedung kesenian. Dari proses rutin itu kemudian puncak karyanya dipentaskan secara berkala, meski lebih sering dilakukan secara swadaya oleh para pelaku seni.
Ada beribu warga Kota Probolinggo sebagai pelaku seni, maupun sebagai penikmat seni, yang merasakan manfaat keberadaan Gedung Kesenian Kota Probolinggo. Meski hawa panas dalam gedung kesenian, para pelaku kesenian tidak pernah mengeluh. Batin mereka justru dipenuhi kebanggaan: kita punya gedung kesenian, dan kita menjadi bagian dari sejarah mewarnai Kota Probolinggo melalui kesenian.
*
Kota Probolinggo pada 4 September 2025 genap berusia 666 tahun. Jika kebijakan mengalihfungsi Gedung Kesenian Kota Probolinggo balik menjadi tennis indoor tetap dilakukan, ini adalah sebuah kado pahit.
*) Penulis adalah jurnalis dan pengurus Dewan Kesenian Kota Probolinggo

Share to
 (lp).jpg)