Santriwati yang Jadi Korban Perlu Pendampingan Psikologis

Iqbal Al Fardi
Iqbal Al Fardi

Tuesday, 17 Jan 2023 12:34 WIB

Santriwati yang Jadi Korban Perlu Pendampingan Psikologis

Linda Dwi Eriyanti, Ketua Pusat Studi Gender (PSG) Unej

JEMBER sedang diguncang kasus dugaan pencabulan dan perselingkuhan pengasuh Ponpes Al Djaliel 2 Jember Kiai Muhammad Fahim Mawardi. Dalam kasus itu, Kiai Fahim dilaporkan oleh istrinya sendiri ke Unit PPA Polres Jember pada Kamis (5/1/2023) lalu. 

Dalam penanganannya, penasihat hukum terlapor dan santri yang menjadi korban ternyata sama.  Hal ini tentu menjadi anomali dalam proses hukum. Untuk itu, tadatodays.com meminta pendapat Ketua Pusat Studi Gender (PSG) Universitas Jember (Unej) Linda Dwi Eriyanti terkait penanganan pada santriwati yang menjadi korban. Berikut wawancaranya dengan jurnalis tadatodays.com Iqbal Al Fardi di kampus Unej, Senin (16/1/2023).

Bagaimana pendapat anda mengenai Kiai Fahim sebagai terlapor dan korban yang ternyata ditangani oleh penasihat hukum yang sama?

Saya juga menyayangkan ketika para santriwati tidak didampingi oleh pengacara yang lain atau lembaga yang independen, dalam hal ini berpihak kepada korban. Bagaimana mungkin satu pengacara yang membela pelaku itu membela korban. Di sini korban ini sudah pasti posisinya sangat lemah. Yang bayar pengacra itu siapa? Nah posisi lemahnya itu di situ.

Kalau saya melihat dari perspektif feminis, itu sudah pasti yang namanya korban harus didampingi secra khusus. Pertama, korban yang harus dibela. Kalau perspektif hukum secara umum itu ya praduga tidak bersalah. Tapi juga masalahnya, ketika ada kasus, berarti itu ada yang salah. Maka keberpihakan terhadap korban itu harus.

Apakah PSG Unej ikut mengawal kasus ini?

Kami tidak ikut mengawal kasus tersebut. Tetapi secara umum ini menjadi perhatian kami, karena ini menjadi evaluasi. Banyak hal yang harus dikerjakan. Ketika ternyata ponpes ini tidak terdaftar, seolah-olah Kemenag ini lepas tangan: lho ini bukan urusan saya, karena (ponpesnya, red) ini tidak terdaftar.

Nah, masyarakat tahu ponpes ini terdaftar dan tidak itu dari mana? Harusnya kalau acuannya itu mengawasi yang terdaftar itu, dia buat daftar pesantren yang terdaftar dan aman, karena di bawah pengawasan Kemenag. Bukan kemudian, ini tidak terdaftar, kemudian bagaimana bisa kami mengawasi sekitar. Ya tugas aparat pemerintah itu seperti itu.

Sebenarnya juga ada aturan (Peraturan Menteri Agama nomor 73 tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Pada Kementrian Agama) yang tahun 2022 tentang pengelolaan lembaga pendidikan di bawah Kemenag harus memiliki menegakkan aturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

Masalahnya, pemerintah gampang sekali buat aturan dan implementasinya sangat kurang. Dari aparatnya sendiri belum memahami aturan, belum lagi yang di bawah. Belum lagi masyarakat, saat mereka memondokkan anaknya itu harus dijamin dari kasus kekerasan seksual.

Yang lebih penting, kasus kekerasan seksual itu sering dianggap tabu dan sering ditutup-tutupi, karena mungkin keluarga korban itu merasa malu. Banyak hal yang berkelindan di sini. Kerja kita itu banyak. Bukan hanya, saya tidak menyempitkan ruangnya sekadar mendampingi ketika ada kejadian, penanggulangan itu juga penting. Jember harus belajar dari ini.

Apakah penanganan kasus ini sudah salah sejak awal dalam perspektif gender?

Kalau kita bicara benar salah, banyak aspek yang salah di situ, banyak hal yang harus dibenahi. Kalau kita berbicara seperti ini ya bahkan kita mungkin sudah salah. Misalkan kalau saya menyalahkan sampean, nah ini media ke mana saja kok tidak mengedukasi masyarakat, misalnya begitu.

Memang ini tugas semua orang. Kalau saya merujuk ke Kemendikbud itu selalu bilang di lembaga pendidikan itu dosa terbesar di antaranya kekerasan seksual. Karena dari zaman dulu ini banyak ditemukan dan tidak tuntas penanganannya dan tetap menjadi ancaman.

Saat santri sebagai korban itu satu atap dengan terduga pelaku, apakah menjadi masalah?

Iya, bagi saya itu sudah menjadi masalah. Apapun itu ya masalah itu, harus dituntaskan, dan caranya menuntaskan itu dengan cara saat korban masih dekat dengan pelaku, intimidasi itu sudah pasti, ancaman-ancaman. Belum lagi urusan ketergantungan. Mungkin kedekatan secara psikologis. Belum lagi doktrin yang ditanamkan. Itu sudah melekat, apalagi korbannya anak.

Kita yang dewasa saja, perempuan yang mengalami kekerasan seksual tidak semuanya berani mengungkapkan ke orang lain, karena masih menganggap aib dan masyarakat masih belum terbuka. Sering kali menganggap, kok diam saja kok mau, kok berulangkali berarti menikmati dan seterusnya. Itu yang sering ditakuti. Yang kedua, mereka tidak yakin ada yang membela. Seandainya pun ada yang membela, itu tidak akan menang.

Jadi apa yang harus dilakukan?

Yang pertama harus dilakukan itu harus memisahkan antara korban dan pelaku. Kenapa? Setidaknya untuk mencegah keberulangan. Kalau asumsi dari kami, ketika terjadi sesuatu, ya harus dilakukan antisipasi.

Seandainya pun tidak terjadi, tidak apa, nanti bisa ada pemulihan nama baik, toh. Bisa dilakukan cara itu. Tapi daripada ini terlanjur, ada mungkin keberulangan, intimidasi dan sebagainya, yang bisa jadi mempengaruhi langkah selanjutnya.

Terkait prosedur penanganannya, apakah ada langkah-langkah berdasar Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual?

Kalau itu, implementasinya saya belum tahu dengan persis, karena latar belakang saya bukan hukum. Jadi, terus terang saya tidak tahu, karena proses hukum itu sering kali juga berbeda dengan teks yang ada. Kalau secara aturan, harusnya itu ada pendamping khusus, bahkan ketika anak itu tidak mau bertemu dengan penyidikpun, harusnya pendamping ini bisa menyampaikan ke penyidik dan penyidik menganggap kesaksian dari pendamping itu sama bobotnya dengan terperiksa, loh. Harusnya sampai seperti itu.

Ketika pengacaranya itu sama, itu pasti bermasalah. Secara hukum mungkin sah, tapi bagi kami itu bermasalah karena hukum itu tidak identik langsung dengan keadilan dan kebenaran. Hukum itu kan cara toh. Cara yang ditempuh untuk melindungi. Ketika segala sesuatu itu jelas tidak melindungi itu kenapa ditempuh?

Dalam kasus ini, relasi kuasanya timpang. Bagaimana pendapat anda?

Mana ada santri yang mau tanda kutip menjatuhkan kiai, meskipun dia (santri, red) sebenarnya korban. Tetapi di pikiran dia kan menjaga nama baik kiai harus dilakukan. Kalau tidak, dia nanti ilmunya tidak manfaat, tidak barokah. Kan itu yang selalu diajarkan.

Dalam penanganan korban, hal apa yang harus diutamakan itu apa?

Kalau korbannya dewasa, penanganan korban itu sesuai dengan keinginan korban. Tapi masalahnya, jika korbannya anak-anak, maka harus ada pendamping khusus. Pendamping khusus itu bisa jadi psikolog yang benar-benar bisa menangani psikologinya dia. Psikologinya harus dipulihkan.

Lalu kalau kasusnya anak-anak ini bukan delik aduan lagi, polisi harus menangani. Apapun alasannya, harus tetap menangani. Jadi meskipun tidak ada pelaporan pun harus tetap diproses. Jadi itu prinsipnya.

Jadi, secara psikologis, sudah pasti anak-anak harus ini mendapatkan pendampingan psikologis. Supaya, setidaknya, dia bisa diberi motivasi untuk mengingatkan bahwa sebenarnya dia tidak boleh mengalami hal seperti itu. Dimotivasi untuk memiliki keberanian agar mengungkapkan yang benar. Supaya setidaknya tidak terulang bagi dirinya sendiri dan juga teman-temannya.

Apakah PSG Unej memiliki tim khusus untuk pendampingan psikologi atau trauma healing dalam kasus ini?

Kemarin, kami masih memiliki itu, tetapi hanya terbatas untuk Unej. Sebab, sumber daya kami terbatas. Namun, kami tetap menjadikan isu-isu itu sebagai prioritas. (iaf/why)


Share to