Soal Gedung Kesenian Kota Probolinggo Jadi Tennis Indoor Lagi, Dewan Kesenian: Kami Tidak Diajak Bicara

Alvi Warda
Wednesday, 20 Aug 2025 21:21 WIB

PANSUS: Rapat pansus DPRD Kota Probolinggo membahas raperda perubahan perda tentang pajak dan retribusi daerah, Rabu (20/8/2025) sore.
PROBOLINGGO, TADATODAYS.COM - Rencana Pemkot Probolinggo mengembalikan Gedung Kesenian di Jalan Suroyo menjadi tennis indoor, disebutkan sudah dibicarakan dengan para pihak, termasuk Dewan Kesenian Kota Probolinggo (DKKPro). Namun, DKKPro menyatakan kecewa, terlebih tidak diajak bicara sama sekali terkait rencana alih fungsi ini.
Pada Rabu (20/8/2025) sore, pansus DPRD Kota Probolinggo membahas raperda tentang perubahan perda Kota Probolinggo nomor 4 tahun 2023 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Dalam raperda ini Pemkot Probolinggo mengusulkan perubahan fungsi Gedung Kesenian menjadi lapangan tennis indoor, untuk kemudian diatur tarif baru retribusi bagi penggunaan dua lapangan tenis di dalamnya.
Gedung Kesenian sebelumnya dikelola oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud). Selanjutnya, untuk alih fungsi menjadi tennis indoor, pengelolaannya digeser ke Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata (Dispopar).
Dalam rapat pansus, Sekretaris Dispopar Fadjar Poernomo yang memberi penjelasan. Menurutnya, Gedung Kesenian dikembalikan ke fungsi awal sebagai tennis indoor. Selanjutnya, Kampung Seni di komplek TRA di Jalan Hayam Wuruk akan dikelola oleh Disdikbud, sebagai Gedung Kesenian pengganti.
Dengan perubahan fungsi ini, pemerintah kota juga menetapkan tarif retribusi baru. Untuk lapangan tenis outdoor, tarif yang berlaku adalah Rp 50.000 per jam untuk satu pertandingan pada siang hari, dan Rp 100.000 per 4 jam pada malam hari. "Sementara untuk fasilitas tenis indoor yang baru, diusulkan tarif Rp 150.000 per 4 jam per satu lapangan, dengan tersedia dua lapangan di dalam gedung," ucapnya.
Ketua Pansus Raperda Pajak dan Retribusi Daerah, Riyadlus Sholihin, Riyadlus menanyakan soal proses alih fungsi, termasuk koordinasi dengan Dewan Kesenian Kota Probolinggo. "Termasuk komunikasi dengan Dewan Kesenian, itu sudah juga ya?" tanya Riyadlus.
Fadjar Poernomo kemudian menjawab bahwa semua pihak sudah berkomunikasi. "Sudah pak, sudah klir," jawabnya meyakinkan.
Namun, Ketua Dewan Kesenian Kota Probolinggo (DKKPro) Peni Priyono saat diwawancarai pada Rabu (20/8/2025) petang, mengungkapkan kekecewaannya terhadap rencana alih fungsi Gedung Kesenian yang dilakukan tanpa melibatkan pihaknya dalam proses diskusi.
"Tidak mengerti saya soal alih fungsi. Tahunya dari pemberitaan media. Saya bertanya, lho iyo ta? Soalnya, kami (Dewan Kesenian, red) sama sekali tidak diajak bicara, rasan-rasan (pembicaraan tidak resmi, red) saja tidak ada," kata Peni.
Peni mempertanyakan posisi kesenian di mata pemerintah Kota Probolinggo. Menurutnya, jika DKKPro dianggap sebagai bagian dari masyarakat, seharusnya dilibatkan dalam pembahasan kebijakan yang berkaitan dengan fasilitas kesenian.
"DKKPro tidak tahu apa-apa, sangat tidak tahu. DKKPro tidak punya apa-apa, uang saja tidak punya," keluhnya.

Kawasan Budaya
PENI menjelaskan bahwa gedung kesenian yang kini terancam dialihfungsikan tersebut aktif digunakan oleh berbagai komunitas seni. "Yang menempati gedung kesenian ini banyak, meskipun tidak semua sanggar. Kita izin, tidak ngawur menempati. Izinnya di Disdikbud tiap tahun kita buat izin," katanya.
Berbagai kegiatan seni rutin dilakukan di gedung kesenian. Mulai dari latihan tari, seni rupa, musik, hingga teater. Peni khawatir jika tidak ada anak-anak yang cinta seni dan budaya, kota akan kehilangan identitas budayanya. "Habis kota ini jika tidak ada generasi yang mencintai seni," ucapnya.
Menurut Peni rencana pemindahan kegiatan kesenian ke area dekat kolam renang yang juga berdekatan dengan tempat bola sodok dan billiard, tidak masuk akal. "Pantaskah kesenian dijejerkan dengan olahraga? Di kota ini tidak ada tempat kesenian, tapi adanya tempat tampil, bahkan bukan milik pemerintah," ujarnya.
Ia menegaskan tidak meminta uang, tetapi hanya membutuhkan tempat yang layak untuk berkesenian. "Kalau mau bicara kawasan, kota ini tidak kepingin ada kawasan budaya dan kesenian?" tanyanya.
Peni menceritakan perjuangan panjang pelaku seni Kota Probolinggo dalam mencari tempat berkesenian. Pada tahun 1980-an, mereka harus "ngemper" dari teras ke teras, bahkan menggunakan sekolah dan rumah-rumah warga.
"Akhirnya disuruh menempati kampung seni TRA, tapi tidak layak. Pernah saat tampil dihantam (batu, red) bata karena mengganggu warga. Belum lagi tidak berlantai, setiap minggu harus bersihkan rumput khawatir ada ular," kenangnya.
Meskipun keterbatasan fasilitas, Peni menegaskan bahwa komunitas seni Probolinggo telah menorehkan prestasi hingga tingkat nasional. "Mau bawa trofi? Bisa saya pakai pikap," katanya.
Hingga kini, DKKPro masih menunggu komunikasi resmi dari pemerintah kota terkait rencana alih fungsi gedung kesenian tersebut. Peni berharap ada dialog yang melibatkan semua pihak sebelum keputusan final diambil. "Kalau mereka pakai kuasa, ya kita bisa apa? sekali lagi, uang saja kita tidak punya," tuturnya. (alv/why)

Share to
 (lp).jpg)