Soal Sewa dan Pajak Museum Rasulullah, Banggar dan Pemkot Silang Pendapat

Alvi Warda
Alvi Warda

Tuesday, 07 Jun 2022 13:55 WIB

Soal Sewa dan Pajak Museum Rasulullah, Banggar dan Pemkot Silang Pendapat

BAHAS LHP BPK: Badan Anggaran DPRD Kota Probolinggo pada Senin (6/6/2022) malam, membahas sejumlah temuan BPK dalam laporan hasil pemeriksaan atas keuangan Pemkot Probolinggo tahun 2021. Salah satunya adalah temuan BPK tentang pengelolaan Museum Rasulullah.

PROBOLINGGO, TADATODAYS.COM - Temuan atau catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang Museum Rasulullah menjadi bahasan panas di dalam rapat dengar pendapat Badan Anggaran DPRD Kota Probolinggo,  Senin (6/6/2022) malam di ruang sidang utama DPRD. Poin utama Banggar adalah sudah sejauh mana tindak lanjut, atas rekomendasi dari BPK terkait Museum Rasulullah.

BPK mencatat dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) untuk pemeriksaan di tahun 2021, Museum Rasulullah dapat berpotensi merugikan daerah. Dalam LHP tersebut BPK menyimpulkan, ada potensi kehilangan pendapatan sebanyak Rp 46 juta lebih atas sewa dan Rp 117 juta lebih atas pajak hiburan.

Dari temuan tersebut, BPK memberikan dua rekomendasi pada walikota Probolinggo. Pertama, agar walikota menginstruksi Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (sebagai pengelola Museum) untuk merevisi perjanjian yang sesuai dengan undang-undang. Kedua, agar walikota menginstruksi Kepala BPPKAD (sebagai pembantu pengelola museum), untuk menetapkan dan menagih pajak hiburan Rp 117 juta dan sewa Rp 46 juta.

Sibro Malisi selaku anggota banggar menanyakan, BPPKAD sudah sejauh mana melaksanakan instruksi dari walikota, yang dalam hal ini sebagai rekomendasi dari BPK. “Sejauh mana progress untuk instruksi menetapkan dan menagih yang poin kedua ini?” kata Sibro.

Sekertaris Daerah (Sekda) Ninik Ira Wibawati menjawab, berdasarkan rekomendasi dari BPK sejumlah uang (sewa dan pajak) tidak perlu ditagih. Namun, Disdikbud sudah memproses revisi perjanjian yang juga menjadi rekomendasi BPK dengan kurun waktu enam bulan. “Rekomendasi BPK agar perjanjiannya direvisi, saat ini masih proses. Kemudian, itu tindak lanjutnya dikasih waktu 6 bulan. Ketiga, tidak ada rekomendasi pengembalian,” jelas Ninik.

Sibro kembali bertanya. Ia menuturkan, bagaimana bisa ini tidak perlu ditagih. Sedangkan yang tertuang dalam LHP BPK, BPPKAD diinstruksi untuk menetapkan dan menagihnya. “Berarti tidak perlu bayar? Padahal tulisannya disini menginstruksikan menetapkan dan menagih. Kalau ibu masih ngotot, silakan. Jangan sampai seperti tahun 2020. Saya pernah ngomong perbaiki, tidak diperbaiki. Akhirnya jadi temuan BPK di tahun 2021. Coba jelaskan di poin mana tidak ditagih itu?” jelas Sibro.

Ninik menjawab pertanyaan Sibro selaras dengan jawaban pertamanya. Penagihan itu tidak perlu dilakukan seperti rekomendasi dari BPK.

Selain Ninik, BPPKAD (sebagai pembantu pengelola museum), turut memberikan jawaban. Hal ini disampaikan oleh perwakilan dari kepala BPPKAD yang tak bisa hadir sebab berada di luar kota. Ia menyampaikan, pihaknya sudah menyikapi apa yang menjadi rekomendasi BPK. Sejalan dengan Sekda, menurutnya, BPPKAD tidak perlu menagih uang kerugian itu atas rekomendasi dari BPK.

Tak henti-hentinya Sibro meminta penjelasan yang tegas dari sekda terkait poin menagih dan menetapkan ini. Ia khawatir jika sewaktu-waktu akan terjadi hal yang tak diinginkan. Namun, sekda tetap menjelaskan bahwa rekomendasi yang BPK berikan, tak perlu adanya penentapan dan penagihan.

Melihat jalan rapat yang semakin panas, anggota banggar dari fraksi PDIP Hanafi memberikan masukan. Ia berpendapat, seharunya pihak terkait menjalankan apa yang menjadi rekomendasi dari BPK. “Kalau disuruh ditagih, ya ditagih,” ucapnya.

Saran kedua datang dari Muchlas, anggota banggar dari Fraksi Partai Golkar. Menurutnya, Sekda maupun BPPKAD bisa melakukan konfirmasi ulang kepada BPK. Poin menagih dan menetapkan supaya bisa dipastikan secara jelas agar tidak menjadi perdebatan yang panjang. “Tak perlu debat, konfirmasi ulang saja ke BPK,” katanya.

Anggota banggar lainnya juga berpendapat, tidak menjadi masalah apabila sekda maupun BPPKAD tidak menjalankan rekomendasi kedua dari BPK. Namun, rekomendasi pertama untuk Disdikbud harus dilakukan. Kemudian revisi tersebut harus berdampak pada penghasilan pemerintah daerah atau pendapatan asli daerah. (alv/why)


Share to